Tidak lagi di kedai kopi Espresso.
Sudah satu minggu ini aku mengamati Espresso selalu tutup, padahal minggu sebelumnya aku masih rutin berkunjung sepulang kerja. Beberapa kali kudatangi kedai itu tak kudapati siapa – siapa disana. Hingga suatu ketika, saat aku berjalan melintasi Espresso aku menyadari ada aktivitas didalamnya. Kuputuskan untuk mampir dan melihatnya sebentar.
“Apa ada orang disini?” tanyaku sedikit ragu – ragu. Kulihat seseorang sedang mengemasi cangkir – cangkir kopi yang biasanya disajikan untuk pelangan. Ada sesuatu yang tidak beres, pikirku.
“Hei Ky, apa kabar? Apa ada yang bisa aku bantu?” jawabnya dengan berbalik bertanya padaku. Kegiatannya terhenti sejenak melihat kedatanganku yang tiba – tiba. “Latte full of sugar?” tawarnya.
“No thanks”, jawabku singkat. Dia tak menunjukkan reaksi apapun dan hanya menaikan alisnya sebelah. “Apa yang kau lakukan Kelly? Maksudku, apa yang terjadi dengan Espresso? Dimana dia?”, Kelly yang aku yakin dia cuma berlagak bego menaikan alisnya lagi. “Dean.” Kagiatannya pun berhenti. Dia tak menunjukkan reaksi apapun dan berjalan menjauhiku. Aku hanya mengamati gerak – geriknya tanpa berkata lagi. Kelly kembali dengan membawa secangkir latte dan menyodorkannya padaku.
“Minumlah”, katanya. Tanpa komando ulang aku segera meminumnya. Jujur saja aku rindu latte kedai Espresso. Bukan. Aku, rindu. Lebih tepatnya, dia. Aku semakin tak nyaman dengan keadaan ini. Namun kuputuskan untuk tetap diam dan menunggu penjelasan Kelly.
“Dia mengingikan Espresso tetap berkarir untuk memuaskan para pelanggan”, kata – katanya terhenti dan aku menunggu. “aku memilih mundur”, masih tak mengerti dengan kalimatnya.
“Kau? Kenapa?”, tanyaku sedikit ragu.
“Dia memintaku untuk tak mengatakannya padamu, tentang dia. Tentang sakit”, jawabnya dengan kepala menunduk. “Dia Espresso yang kehilangan sari – sari kopinya”, tambahnya. Aku masih kurang mengerti mengenai arah pembicaraan ini. “Temui dia di St. Agnes minggu ini”, kemudian dia meninggalkan obrolan kami.
Aku hanya terpaku mendengar penjelasan dan permintaannya yang menurutku sangatlah absurd. Bagaimana tidak, dia tidak menjawab pertanyaanku dan menganalogikan keadaan dengan filosofi kopi. Bagaimanapun juga, perasaanku mulai tak tenang tentang permintaannya untuk menemui Dean. Apa yang terjadi sebenarnya, batinku bertanya – tanya.
Minggu pagi, seperti permintaan Kelly, aku mendatangi St.Agnes. Dengan pakaian serba putih aku mengikuti kebaktian disana. Sejak pertama memasuki gerbang aku tak melihat siapapun yang kukenal, termasuk Dean. Kuputuskan untuk tetap berjalan dan masuk gereja untuk berdoa. Selesai berdoa, ku edarkan pandanganku keseluruh sudut gereja dan tak kutemui siapapun selain sorang yang tengah duduk diatas kursi roda dan berpakaian hoodie. Kelly, apa dia berbohong padaku, batinku.
Setelah menunggu lima belasmenit dan masih tak kudapati siapapun kecuali seorang berkursi roda tadi, aku sempat berfikir untuk pulang saja. Ketika hendak melangkah keluar pintu gereja, seseorang memanggilku.
“Kens?” panggilnya setengah bertanya. Aku tetap berjalan dan menganggap itu hanya halusinasiku saja. Aku terlalu memikirkan Dean. Ya aku terlalu. Hingga akhirnya suara itu terdengar lagi dan lebih jelas. “Kens, apa kau Kens? Milky Kens?” tanyanya memastikan. Kuhentikan langkahku dan menyadari bahwa itu suara Dean. Aku berbalik badan dan mendapatinya…dia, seseorang dengan kursi roda serta jaket hoodie, yang didepan sana.
“Hei, apa kau lupa?” tanyanya melihat responku yang diam saja.
“Oh, hai De. Deanessso?” jawabku setengah bertanya. Memastikan. Dia, apa yang terjadi sebenarnya. Beribu pertanyaan muncul dibenakku, namun ku urungkan untuk bertanya dan menunggu penjelasnnya saja. Hingga saat dia membuka kapucon yang dikenakannya, persis seperti sore itu. Hanya saja saat ini…tak sehelaipun rambut di kepalanya.
“Apa kau masih mau berteman dengan ku? Kens, dengan keadaanku yang seperti sekarang ini?”, tanyanya dengan sedikit bercanda. Berbeda denganku. Aku terkejut setengah mati melihat perubahannya 180 derajat. Aku menyadarinya. Ya, aku mengerti. Bahwa dia sebenarnya sakit. Aku masih tak habis pikir, penyakit macam apa yang membuat dirinya menjadi seperti ini. Separah apa.
“Kau siapa? Apa kau temanku?” aku berbalik bertanya berniat menggodanya. Menanggapi pertanyaanku dia malah menjalankan kursi rodanya menjauhi ku. Dengan sigap aku menggapai tangannya. “Kau ini, begitu saja marah”, tambahku. Dia hanya tertawa dan memintaku menunduk. Aku pun menurutinya dan dia mengacak rambutku. “Apapun itu, mari kita hadapi bersama”, kataku. Tawanya memudar digantikan senyum ketulusannya.
***
Sejak saat itu, aku dan Dean selalu bersama. Blood cancer telah menghilangkan aroma Espresso, namun tidak dengan inti sarinya. Dia selalu bercerita padaku tentang kopi. Tentang Lino Meiorin seorang barista pertama itali sekaligus penemu Latte, tentang ramuan kopi, struktur kopi, sifat kopi dan segala hal yang berhubungan dengan kopi. Aku menyukainya. Ya, aku. Hingga suatu ketika tak ada lagi yang bercerita tentang kopi denganku. Ya, Dean pergi. Bukan, lebuh tepatnya berpulang. Aku mencoba merelakannya sekalipun itu sulit.
Suatu waktu aku menyadari, ini akhir ramuan kopi yang kami ciptakan. Bukan lagi Latte. melainkan Cappucino. Cappuccino terbentuk dari Espresso dan Milk dengan Milk mendominasi. Seperti aku dan Dean. Namun bukan berarti aku tak lagi menyukai Latte. Aku tetap menyukainya sampai kapanpun Dean. Asal kalian tahu, latte terdiri dari tiga lapisan yaitu Espresso, Milk, dan Foam. Dan Dean, dia Espresso dan dia akan selalu menjadi dasarku. Latte Espresso. Deanesso.
Latte, disana kisah kita terabadikan.“Te Amo , Kens”, bisiknya dibawah lonceng St Agnes .