KOPI

Hangatmu menemani dimalam hari. Bagai candu yang bahkan sangat enggan untuk ditinggalkan. Kau memikat. Ya, kau. Bahkan kau berhasil membuatku ingin selalu menggenggammu disetiap waktu. Namun satu hal bahwa, kau tak hanya memikat seorang tapi semua orang. Entahlah.

Seorang barista selalu bertanya disetiap kedatanganku, “kau mau pesan kopi apa?”
Aku bahkan tak tau apa saja jenis kopi itu. Bagiku semua kopi yang dibalut dalam berbagai macam bentuk tetaplah sebuah kopi. Pahit.

“seperti biasa:, kataku.

Aku hanya berlalu dan tersenyum getir membayangkan kebodohanku. Bukan, lebih tepatnya hidupku.
mengulang hal yang sama di waktu yang berbeda.

CAFFE LATTE 3

Tidak lagi di kedai kopi Espresso.

Sudah satu minggu ini aku mengamati Espresso selalu tutup, padahal minggu sebelumnya aku masih rutin berkunjung sepulang kerja. Beberapa kali kudatangi kedai itu tak kudapati siapa – siapa disana. Hingga suatu ketika, saat aku berjalan melintasi Espresso aku menyadari ada aktivitas didalamnya. Kuputuskan untuk mampir dan melihatnya sebentar.

“Apa ada orang disini?” tanyaku sedikit ragu – ragu. Kulihat seseorang sedang mengemasi cangkir – cangkir kopi yang biasanya disajikan untuk pelangan. Ada sesuatu yang tidak beres, pikirku.

“Hei Ky, apa kabar? Apa ada yang bisa aku bantu?” jawabnya dengan berbalik bertanya padaku. Kegiatannya terhenti sejenak melihat kedatanganku yang tiba – tiba. “Latte full of sugar?” tawarnya.

“No thanks”, jawabku singkat. Dia tak menunjukkan reaksi apapun dan hanya menaikan alisnya sebelah. “Apa yang kau lakukan Kelly? Maksudku, apa yang terjadi dengan Espresso? Dimana dia?”, Kelly yang aku yakin dia cuma berlagak bego menaikan alisnya lagi. “Dean.” Kagiatannya pun berhenti. Dia tak menunjukkan reaksi apapun dan berjalan menjauhiku. Aku hanya mengamati gerak – geriknya tanpa berkata lagi. Kelly kembali dengan membawa secangkir latte dan menyodorkannya padaku.

“Minumlah”, katanya. Tanpa komando ulang aku segera meminumnya. Jujur saja aku rindu latte kedai Espresso. Bukan. Aku, rindu. Lebih tepatnya, dia. Aku semakin tak nyaman dengan keadaan ini. Namun kuputuskan untuk tetap diam dan menunggu penjelasan Kelly.

“Dia mengingikan Espresso tetap berkarir untuk memuaskan para pelanggan”, kata – katanya terhenti dan aku menunggu. “aku memilih mundur”, masih tak mengerti dengan kalimatnya.

“Kau? Kenapa?”, tanyaku sedikit ragu.

“Dia memintaku untuk tak mengatakannya padamu, tentang dia. Tentang sakit”, jawabnya dengan kepala menunduk. “Dia Espresso yang kehilangan sari – sari kopinya”, tambahnya. Aku masih kurang mengerti mengenai arah pembicaraan ini. “Temui dia di St. Agnes minggu ini”, kemudian dia meninggalkan obrolan kami.

Aku hanya terpaku mendengar penjelasan dan permintaannya yang menurutku sangatlah absurd. Bagaimana tidak, dia tidak menjawab pertanyaanku dan menganalogikan keadaan dengan filosofi kopi. Bagaimanapun juga, perasaanku mulai tak tenang tentang permintaannya untuk menemui Dean. Apa yang terjadi sebenarnya, batinku bertanya – tanya.

Minggu pagi, seperti permintaan Kelly, aku mendatangi St.Agnes. Dengan pakaian serba putih aku mengikuti kebaktian disana. Sejak pertama memasuki gerbang aku tak melihat siapapun yang kukenal, termasuk Dean. Kuputuskan untuk tetap berjalan dan masuk gereja untuk berdoa. Selesai berdoa, ku edarkan pandanganku keseluruh sudut gereja dan tak kutemui siapapun selain sorang yang tengah duduk diatas kursi roda dan berpakaian hoodie. Kelly, apa dia berbohong padaku, batinku.

Setelah menunggu lima belasmenit dan masih tak kudapati siapapun kecuali seorang berkursi roda tadi, aku sempat berfikir untuk pulang saja. Ketika hendak melangkah keluar pintu gereja, seseorang memanggilku.

“Kens?” panggilnya setengah bertanya. Aku tetap berjalan dan menganggap itu hanya halusinasiku saja. Aku terlalu memikirkan Dean. Ya aku terlalu. Hingga akhirnya suara itu terdengar lagi dan lebih jelas. “Kens, apa kau Kens? Milky Kens?” tanyanya memastikan. Kuhentikan langkahku dan menyadari bahwa itu suara Dean. Aku berbalik badan dan mendapatinya…dia, seseorang dengan kursi roda serta jaket hoodie, yang didepan sana.

“Hei, apa kau lupa?” tanyanya melihat responku yang diam saja.

“Oh, hai De. Deanessso?” jawabku setengah bertanya. Memastikan. Dia, apa yang terjadi sebenarnya. Beribu pertanyaan muncul dibenakku, namun ku urungkan untuk bertanya dan menunggu penjelasnnya saja. Hingga saat dia membuka kapucon yang dikenakannya, persis seperti sore itu. Hanya saja saat ini…tak sehelaipun rambut di kepalanya.

“Apa kau masih mau berteman dengan ku? Kens, dengan keadaanku yang seperti sekarang ini?”, tanyanya dengan sedikit bercanda. Berbeda denganku. Aku terkejut setengah mati melihat perubahannya 180 derajat. Aku menyadarinya. Ya, aku mengerti. Bahwa dia sebenarnya sakit. Aku masih tak habis pikir, penyakit macam apa yang membuat dirinya menjadi seperti ini. Separah apa.

“Kau siapa? Apa kau temanku?” aku berbalik bertanya berniat menggodanya. Menanggapi pertanyaanku dia malah menjalankan kursi rodanya menjauhi ku. Dengan sigap aku menggapai tangannya. “Kau ini, begitu saja marah”, tambahku. Dia hanya tertawa dan memintaku menunduk. Aku pun menurutinya dan dia mengacak rambutku. “Apapun itu, mari kita hadapi bersama”, kataku. Tawanya memudar digantikan senyum ketulusannya.

***

Sejak saat itu, aku dan Dean selalu bersama. Blood cancer telah menghilangkan aroma Espresso, namun tidak dengan inti sarinya. Dia selalu bercerita padaku tentang kopi. Tentang Lino Meiorin seorang barista pertama itali sekaligus penemu Latte, tentang ramuan kopi, struktur kopi, sifat kopi dan segala hal yang berhubungan dengan kopi. Aku menyukainya. Ya, aku. Hingga suatu ketika tak ada lagi yang bercerita tentang kopi denganku. Ya, Dean pergi. Bukan, lebuh tepatnya berpulang. Aku mencoba merelakannya sekalipun itu sulit.

Suatu waktu aku menyadari, ini akhir ramuan kopi yang kami ciptakan. Bukan lagi Latte. melainkan Cappucino. Cappuccino terbentuk dari Espresso dan Milk dengan Milk mendominasi. Seperti aku dan Dean. Namun bukan berarti aku tak lagi menyukai Latte. Aku tetap menyukainya sampai kapanpun Dean. Asal kalian tahu, latte terdiri dari tiga lapisan yaitu Espresso, Milk, dan Foam. Dan Dean, dia Espresso dan dia akan selalu menjadi dasarku. Latte Espresso. Deanesso.

Latte, disana kisah kita terabadikan.“Te Amo , Kens”, bisiknya dibawah lonceng St Agnes .

CAFFE LATTE (2)

Kedai kopi Espresso, lagi.

Sejak perkenalanku dengan Dean, aku menambah frekuensi kunjunganku ke kedai Espresso. Entah mengapa, seperti semacam kecanduan. Terhadap latte tentunya.

Siang ini sepulang kantor, kuputuskan untuk mampir ke Espresso. Cuaca yang kurang bersahabat membuat pukul empat sore tampak seperti pukul 6 sore. Dengan langkah tergesa aku memasuki Espresso dan langsung memesan latte full of sugar. Kini tak hanya Dean yang hafal dengan minuman favoritku, namun Kelly barista perempuan dan pelayan disana pun juga hafal dengan latte favoritku.

“Latte full of sugar, honey?” tanya Kelly dengan sigap.

“Ah, yeah, Kel. Ngomong–ngomong dimana Dean?” merasa sedikit ada yang berbeda aku menemukan ternyata tak ada Dean di kedai. Kelly hanya meliirikku sambil mengerlingkan matanya. Bermaksud menggodaku dan aku segera menyadarinya. “Cuma nanya doang, Kel” tambahku.

“Haha, iya, tadi Dean pamit ijin buat hari ini. Entah mau pergi kemana, paling-paling besok juga udah balik lagi. Dia mah nggak bakal betah sehari tanpa Espresso.” Sambil meramu latte pesananku.

Aku hanya manggut- manggut saja mendengarnya. Enggan untuk bertanya lebih lanjut, sekalipun beribu pertanyaan sudah siap di benakku namun hal itu segera kuurungkan. Hubunganku dengan Dean memang hanya sebatas teman biasa. Aku selalu tertarik dengan pengetahuan yang dimilikinya. Terkadang aku merasa nyaman ketika berbicara dengannya, namun terkadang juga aku dibuat bingung oleh sikapnya yang misterius. Dia selalu tertutup dan enggan berbicara mengenai pribadinya terhadapku, berbeda denganku yang selalu menceritakan apa saja semauku. Dia tak merasa terganggu dengan sikapku. Dan kini aku mencoba tak terganggu dengan sikapnya yang seperti sekarang ini.

Keesokan harinya ketika pulang dari kantor, seseorang telah menungguku di lobi kantor. Resepsionis yang memberitahuku, namun ia tak menyebutkan siapa nama orang itu. Aku penasaran karena ia menggunakan jaket dengan kapucon di kepalanya. Ketika kudekati, orang itu menengok dan ternyata itu Dean. Mendadak gugup melanda.

“Hai, Kens,” sapanya sambil tersenyum lebar memamerkan deretan giginya yang rapi. Aku yang speechless dengan kedatangannya hanya diam. Kemudian ia melambaikan tangannya di depan mukaku membuatku tersadar.

“Heii..!” seruku kesenangan. “A..ada apa De?” tanyaku kemudian, menyadari keadaan sekitar. Dia tersenyum dan menurunkan kapuconnya. Kini rasanya apapun yang gerak–geriknya selalu menarik perhatianku. Hei, ada yang berbeda darinya. Tapi apa, batinku.

“Mau pulang, kan?” tangannya menggandengku keluar kantor menuju trotoar. Bahkan gandengannya saja mampu membuatku lupa apa yang sedang kupikirkan. “Mau mampir? Ke Espresso? Ah, tidak, kau pasti lelah”.

“Tidak. Tentu saja aku mau,” sambutku girang. “Kau, apa yang terjadi denganmu kemarin? Maksudku, apa semua baik-baik saja? Kemarin aku ke Espresso tapi kau….” belum selesai pertanyaanku dia menyambarnya.

“Aku baik–baik saja. Kelly menghubungiku dan berkata, kau ke kedai kemarin sore,” sifatnya mendadak dingin. Ini yang kutakutkan selama ini. Akhirnya aku mengalah dan mengalihkan pembicaraan.

“Hei, lihat, apa kau pergi untuk mencukur rambutmu? Kelihatannya ini lebih pendek dari sebelumnya,” tanyaku polos. Dia menatapku dan tersenyum. Fyuh lega, batinku.

“Ya..ya kau melihatnya sekarang haha, “ jawabnya sambil tertawa dan mengacak rambutku. Entah palsu atau tidak, aku hanya merasa ada yang berbeda darinya. “Jadi, ayo kita ke Espresso. Akan kubuatkan kau secangkir latte special.” Tangannya menggandengku dan menyeretku untuk berjalan menyamai langkahnya. Aku selalu suka ketika dia menggandeng tanganku. Hangat. Sehangat Espresso.

***

Latte terbuat dari ramuan milk dan espresso dengan takaran yang sama. Namun yang terjadi, aku dan Dean kami bahkan berbeda takaran. Ketika menjadi latte, rasa apa yang akan dihasilkan? Aku masih menerka –nerka. Karena saat ini bukanlah akhir dari ramuan latte kami, kami masih berproses untuk latte yang sempurna. Untuk mendapatkan latte dengan takaran yang pas dan seimbang.

CAFFE LATTE (1)

Kedai kopi espresso.
“Satu cup latte full of sugar”, pesanku pada seorang barista yang tengah sibuk meramu minuman berbahan dasar kopi. Dia tak mengiyakan dan langsung membuatkannya untukku.
“Hmm…pas sekali”, bisikku lirih. Ku hirup perlahan aroma latte kesukaanku, sweet. Bahkan hanya menghirupnya saja aku bisa merasakan manisnya latte yang kupesan tadi.
“Kau suka?”, lamunanku buyar dengan pertanyaan itu. Masih tak menyangka barista itu berbicara kepadaku. Setahuku, dia orang kaku yang cuma bisa meramu biji-biji kopi menjadi layak konsumsi. Aku tak pernah memperhatikannya, sejak kedatanganku ke Itali beberapa minggu lalu, dan beberapa kali aku datang ke kedai ini, dia bahkan tak pernah berbicara kepadaku. Dia hanya mengangguk lalu bekerja lalu…
“Ehm, kau suk..ka.. lat..te lattenya?”, ulangnya terbata. Dia hanya menunjukkan ekspresi datar tanpa senyum sedikitpun. Bukan, dia menunjukkan tampang sok polosnya, batinku.
“Eh..Iya. Aku suka. Kau..bagaimana bisa kau membuatnya? Em…maksudku darimana kau belajar? Maksudku..ya begitulah”, tanyaku sedikit gugup. Ini bukan pertama kalinya aku berbicara dengan orang asing di Itali, hanya saja…yah mata hijaunya membuatku sedikit gugup. Hanya sedikit.
“Haha kau, apa kau sedang bercanda? Hampir sebagian besar orang Italia pandai membuat Latte. Tanyakan saja pada mereka”, sambil menunjuk pelanggan yang sedang menikmati latte sepertiku. “Hanya yang pandai meramu, tidak semua orang Italia bisa”, tambahnya sambil melipat kedua tangannya kedepan.
“Hei, aku hanya salah diantara kata membuat dan meramu”, rajukku. Dia hanya tersenyum simpul, yang menurutku itu sebuah senyum ejekan. Tak ku hiraukan dan langsung mengaduk art latteku yang hangat kemudian meminumnya sebelum dingin .
“Dean. Deanesso”, katanya memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. Aku masih tak habis pikir, bagaimana bisa dia mengabaikan pertanyaanku dan malah memperkenalkan diri. Apa – apaan, batinku.
“E…aku kiki. Milky Kens”, sambil menjabat tangannya. Sedetik berjabat tangan dengannya membuatku sedikit canggung. Genggammannya yang erat juga sorot matanya yang tajam membuatku tak berani menatapnya. Cepat – cepat aku melepaskan diri dari kecanggungan ini. Beberapa pelayan dibelakang menatapku dan Dean sedari tadi.
***
Awal pertemuan memang selalu tak terduga. Begitupun dengan pertemuanku dengan Dean. Deanesso, putra seorang barista terkenal di Italia. Seperti namanya “Deanesso” gabungan dari kata Dean dan Espresso, bukti bahwa keluarganya sangat mencintai kopi. Sifatnya yang misterius dan tak terduga, seperti halnya espresso. Bittersweet, manis yang lebih condong ke pahit. Suatu waktu dia bisa bersikap manis dan lembut. Namun terkadang ia juga dingin dan tertutup. Entah hanya perasaanku saja atau ada sesuatu yang disembunyikannya.
Suatu ketika dia mencoba menganalisa arti namaku. “Milky Kens” terbentuk dari kata Milky dan Kens. Aku membenarkannya, Kens adalah nama margaku dan Milky, dia berpendapat bahwa itu merupakan sifat dari milk. Soft and sweet. Sifat fleksibel dan menawarkan. Aku hanya tersipu mendengar pendapatnya. Terlebih ketika dia berkata “Mungkinkah Milky dan Deanesso terramu dalam sebuah cerita, saling melengkapi seperti Caffe Latte yang terramu dari Espresso dan Milk dalam takaran yang pas dan layak untuk dihargai?”

Lembah Hitam

Saat eros bahkan hanya memikirkan tugasnya. Menyakitkan.

Satu menggenapkan dan dua mendustakan. Pahit.

Seperti folosofi kopi Dee, dalam bentuk apapun kopi disajikan, rasa pahit akan selalu mengikutinya.

Aku tahu dasar jurang itu. Dan mereka?

Hanya orang tolol yang mau jatuh ke dasar jurang karang itu. Tapi aku mau. Jadi?

Aku berprinsip bahwa, ketika tak ada satupun orang yang mampu menyadarkanku. Keadaanlah yang sanggup.

Tangan Tuhan selalu berperan. Namun kerasnya hati enggan mengakui.

Lalu apa? Dimana kebijaksanaan athena? Dimana kasih yang sesungguhnya aprodite?

Selalu lembah hitam yang kutemui. Menebak-nebak dasarnya. Berharap lautan luas yang mendasarinya.

Baru saat itu aku menyadari bahwa jatuh tak selamanya sakit. Pada akhirnya, hidup itu bukanlah jalan. Melainkan beberapa jurang untuk setiap keputusannya. Semua jurang terlihat sama. Gelap, hitam, dan dalam. Namun siapa tahu dasarnya? Coba dan rasakan.

Flowering Almond *

Akasia selalu didalamnya. Biji Ek selalu mendukungnya. Agapanthus selalu saja buta. Apa yang dapat ditunjukkan Amarillis dari sebuah Agapanthus?

Selain Akasia dan Anemone dari sebuah Ambroisia. Ketika Akasia hanya bisa dirahasiakan bagi jiwa yang murni. Mereka (para jiwa yang dimurnikan Anthurium) akan mengerti bahwa sesungguhnya Agapanthus itu Allysum. Dan Arbutus yang selalu disebut Allysum sesungguhnya adalah Ambroisia.

Astillbe….Dieu, jadikanlah hatiku seperti biji Ek. Tunjukkanlah padaku Ashtree sebuah Flowering Almond & Akasia. Dieu, ketika Bluberry memohon Akasia dapat menjadi Ambroisia, Apakah pada Bittersweet akan begitu?

Ketika jawabannya adalah tidak, maka biarkanlah Butterfly weed mengakhirinya sekarang juga. Jika iya, maka biarkanlah Flowering Almond meminta Ambroisia di akhir ceritanya.

 

 

 

Note:

  • Flowering Almond : Pengharapan
  • Akasia : Cinta tersembunyi
  • Biji Ek : Kekuatan
  • Agapanthus : Cinta
  • Amarilis : Kebanggaan
  • Anemone : Ekspektasi
  • Blueberry : Prayer
  • Dieu : God
  • Ambroisia : Cinta terbalaskan
  • Anthurium : Pecinta
  • Allysum : lebih berharga dari kecantikan
  • Arbutus : Satu – satunya cinta
  • Astillbe : aku masih menunggu
  • Ashtree : kemegahan
  • Bittersweet : kenyataan
  • Dieu : Tuhan
  • Butterfly weed : let me go

angle an angel…

angle an angel

yang tak (lagi) ku pedulikan. namun selalu mencuri titik fokusku, menghipnotis segalanya, dan bahkan dalam sekejap mata kau mampu meluluh lantahkan segalanya yang telah tertata rapih. akan ku beri tau kau seberapa lama aku menata diriku sedemikian rupa agar aku kembali seperti dulu. sebelum kau datang dan bermain main di dalamnya. sebelum kau singgah dan kemudian pergi begitu saja.

angle an angel. malaikat pencuri titik fokusku.

Parthenon

Parthenon

sebuah bangunan indah nan megah di tengah-tengah kota Athena, tepatnya Akropolis. Yang merupakan perwujudan atas kecintaan mereka kepada dewi mereka, Athena. Disini, aku ingin sekali merekonstruksi segalanya tentang parthenon. menyusun kembali puing – puing reruntuhan sisa perang Persia-Yunani. seperti halnya mengembalikan segala nya seperti semula, tanpa meninggalkan serpihan-serpihan kesedihan. But i just try to draw it. aku hanya bisa menggambarnya. merekonstruksi segalanya dengan sebuah sketsa yang menyedihkan. tapi setidaknya aku telah mencoba. menyusun kembali yang telah dihancurkan. meskipun jauh dari sempurna. setelah bertahun tahun berdiri kokoh dan dibirkan berdampingan dengan reruntuhan lainnya. Athena membangun kembali segalanya dari awal. replika parthenon yang lebih indah dan lebih megah. dan tetap membiarkan parthenon sesungguhnya melihat kembarannya. di kota yang sama, di tempat yang sama. namun sungguh mustahil jika mereka terlihat sama. mereka tetap berbeda. namun betapa bijaksananya Athena, setidaknya membangun yang baru yang lebih indah dan memujanya, tanpa melupakan yang aslinya.

nb: it’s my hand made |<3 art

Kayumanggi

akan ku kenalkan kepadamu. hanya kamu. betapa manis dan lembutnya kayumanggi itu. ketika kau telah mengetahui segalanya, itu hanya milik kita. aku dan kamu. 

mulai dari sini, akan kuberitahu kau bahwa aku sangat mengagumi negara pencetus nama kayumanggi. aku hanya sekedar mengagumi seperti halnya diriku padamu. Ku atas namakan dirimu kayumanggi. aku menyukainya, aku penikmatnya tetapi aku tak selalu memilikinya. Soft, sifat sebuah kayumanggi jika dinikmati. Namun segala sesuatu selalu memiliki aturan. seperti halnya dalam mengkonsumsi sebuah kayumanggi. pahit. seperti saat ini, setelah kayumanggi melebihi batas konsumsi.

namun segalanya tak akan merubah penilaianku terhadapmu. kau membuatku candu terhadapmu. kau mampu melelehkan segala rasa dalam aroma mu. dan kau juga meluluh lantahkan segalanya dalam diriku karenamu, namun kau selalu membalut lukaku dengan kehangatanmu. Yang ku rasa hanya sesaat. yang membuatku selalu ingin merasakannya.

Kayumanggi di Filipina, di ujung musim dingin nanti 🙂 

 

 

Black or White

Abu abu, ini masaku. Dan ini tema cintaku. Semu, adalah sesuatu yang pas untuk menyebut sebuah jati diri abu. Masa transisi dari sebuah fase kehidupan. Dimana kita akan memilih antara hitam atau putih. Tapi, banyak yang selalu menyalah artikan dari semu dan abu abu. Bukan. Bukan berarti abu abu  sebuah fase dimana tanpa sebuah pendirian. kau akan selalu dibingungkan akan sebuah kata cinta yang absurd. Terkadang kau memilih hitam untuk sebuah cinta. kenapa? kau selalu menutup mata akan kelemahan akan sebuah cinta.

Perlu kau tahu. Bahwa hitam dan putih adalah sebuah keselarasan yang bahkan alam sendiri tak bisa memisahkan keduanya. Karena tanpa salah satunya kau tak akan tau sisi keindahan putih dan kegelapan hitam. Abu abu adalah keduanya. Abu abu adalah aku…